الأحد، 9 ديسمبر 2012

tawadhu


A.                      Tawadhu

Orang Muslim itu tawadhu’ tanpa menghinakan dirinya, dan tawadhu’ adalah akhlak, dan sifatnya yang mulia, serta sombong itu bukan sifatnya, karena ia tawadhu’ untuk tinggi dan tidak sombong agar tidak rendah. Ini karena ketentuan Allah Ta’ala menghendaki mengangkat orang – orang yang tawadhu’ karena - Nya dan merendahkan orang - orang yang sombong. Rasulullah SAW. bersabda, “ Harta itu tidak berkurang karena sedekah. Allah tidak menambahkan pada hamba yang memaafkan melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang tawadhu’ karena Allah melainkan Allah mengangkatnya.” ( Riwayat Muslim )


Rasulullah SAW. bersabda,
“ Hak Allah bahwa tidaklah sesuatu dari dunia itu sombong melainkan Allah merendahkannya. “ ( Riwayat Bukhori )

Rasulullah SAW. bersabda,

“ Pada hari kiamat, orang - orang sombong dikumpulkan seperti semut kecil dalam bentuk Dajjal yang diliputi kehinaan dari semua tempat. Mereka digiring ke penjara di Jahannam yang bernama Bulas, api neraka mengepung mereka, dan mereka diberi minum dan usharah ( cairan yang keluar dari nanah dan darah ) penghuni neraka. “ ( Diriwayatkan Tirmidzi dan Nasai )

1.         Tawadhu mempunyai dua makna :

a.      Menerima kebenaran yang datangnya dari siapa saja.

Sebagian manusia tidak menerima kebenaran kecuali datangnya dari orang yang lebih senior. Tapi, jika kebenaran itu dari orang yang lebih rendah kedudukannya, ia tidak mau menerimanya sama sekali.

Yang dinamakan tawadhu’ tidaklah begitu.Ia akan menerima kebenaran yang datngnya dari siapapun, baik orang itu miskin ataupun kaya, terhormat ataupun sederhana, kuat ataupun lemah, dari temannya sendiri atau bahkan dari musuhnya.

b.        Mampu menjalin interaksi dengan semua manusia.

Sikap penuh kasih sayang dan kelembutan, baik itu pada pembantu maupun tuannya, orang yang terhormat maupun sederhana, orang besar maupun hina.Apakah anda mampu menjalin interaksi bersama manusia dengan berbagai strata yang dimilikinya penuh dengan kelembutan dan kasih sayang?
Secara global , tawadhu dapat diartikan : “ Merendahkan diri di hadapan Allah SWT. “

2.         Bentuk - bentuk Tawadhu’ :

a.         Jika seseorang seperti dirinya menonjolkan diri di pertemuan, maka ia sombong. Jika orang tersebut agak mundur , ia tawadhu’.

b.        Iaberdiri dari kursinya untuk orang alim, atau orang mulia, dan mempersilahkannya duduk di kursinya. Jika orang alim atau orang mulia tersebut berdiri, ia siapkan sandalnya dan mengantarnya ke pintu rumahnya dengan berjalan di belakangnya.

c.         Ia berdiri untuk orang biasa, menghadapinya dengan wajah yang berseri - seri, lemah lembut ketika bertanya kepadanya, menjawab panggilannya, memenuhi kebutuhannya, dan tidak melihat dirinya lebih baik daripadanya.

d.        Ia mengunjungi orang yang statusnya di bawahnya, atau orang yang selevel dengannya dengan membawa oleh - oleh untuknya, dan berjalan bersamanya untuk memenuhi kebutuhannya.

e.         Ia mau duduk bersama orang - orang miskin, orang – orang sakit, orang - orang cacat, menjawab panggilan mereka, makan bersama mereka dan berjalan bersama mereka.

f.         Ia makan - makan tanpa berlebihan, dan berpakaian dengan tidak sombong.
 
3.         Contoh - contoh Agung tentang Tawadhu’ :

a.         Dikisahkan bahwa ketika Umar bin Abdul Aziz mendapatkan tamu ketika ia sedang menulis di malam hari, dan lampunya nyaris padam. Tamu tersebut berkata, “ Bagaimana kalau aku berdiri untuk memperbaiki lampumu? “ Umar bin Abdul Aziz berkata, “ Seseorang tidak mulia jika ia menjadikan tamunya sebagai pembantunya. “ Tamu tersebut berkata, “ Kalau begitu, aku bangunan budak? “ Umar bin Abdul Aziz berkata, “ Dia baru saja tidur, jadi jangan bangunkan dia. “ Usai berkata seperti itu, Umar bin Abdul Aziz berjalan ke botol minyak, dan mengisi lampunya dengan minyak. Tamu tersebut berkata kepada Umar bin Abdul Aziz , “ Engkau sendiri melskuksn hal ini, wahai Amirul Mukminin? “ Umar bin Abdul Aziz menjawab, “ Aku pergi sebagai Umar, dan pulang tetap sebagai Umar. Tidak ada sedikitpun yang kurang dariku. Manusia terbaik adalah orang yang tawadhu’ di sisi Allah.

b.        Dikisahkan bahwa Abu Hurairah r.a. pulang dari pasar dengan memikul seikat kayu bakar padahal ketika itu ia menjabat sebagai gubernur Madinah pemerintahan Marwan sambil berkata, “ Tolong beri jalan gubernur kalian agar ia bisa berjalan dengan memikul seikat kayu bakar. “

c.         Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab r.a. pada suatu hari membawa daging dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya memegang tongkat, padahal ketika itu ia adalah Amirul Mukminin, dan khalifah mereka.

d.        Dikisahkan bahwa Ali bin Abu Thalib r.a. membeli daging, kemudian meletakkannya di mantelnya. Dikatakan kepadanya, “ Bagaimana kalau dagingmu dibawakan orang lain, wahhai Amirul Mukminin? “ Ali bin Abu Thalib menjawab, “ Tidak usah, karena bapak anak - anak itu lebih berhak membawanya. “

e.         Anas bin Malik r.a. “ Salah seorang budak wanita Madinah memegang tangan Rasulullah SAW. kemudian berjalan dengan beliau kemanapun ia mau.”

f.         Abu Salamah berkata bahwa aku pernah bertanya kepada Abu Sa’id Al - Khudri, “ Bagaimana pendapatmu tentang produk manusia misalnya pakaian, minuman, kendaraan dan makanan?” Abu Sa’id Al - Khudri menjawab, “Anak saudaraku, makanlah karena Allah, minumlah karena - Nya, dan berpakaianlah karena - Nya, Jika pada itu semua terdapat kesombongan, riya’, dan sum’ah, maka itu maksiat, dan sikap berlebih - berlebihan. Bekerjalah di rumahmu sebagaimana Rasulullah SAW. , karena dulu beliau memberi makan kepada hewan, mengikat unta, menyapu di rumah, memerah susu kambing, memperbaiki sandal, menambal baju, makan bersama pembantunya, membuat tepung jika pembantunya kelelahan, membeli sesuatu dari pasar, malu tidak menghalanginya untuk mengikat barang dengan tangannya, atau meletakkannya diujung bajunya, pulang ke keluarganya, berjabat tangan dengan orang kaya, berjabat tangan dengan orang miskin, berjabat tangan dengan anak kecil, dan memulai mengucapkan salam kepada siapa saja yang ditemuinya baik itu anak kecil, orang tua, orang yang berkulit hitam, atau orang berkulit sawo matang, orang merdeka, dan budak diantara kaum muslimin. “

4.         Keutamaan Tawadhu’

Allah akan meninggikan derajatnya. Nabi SAW. bersabda,
“ Tiada satupun karunia yang diperoleh seseorang yang bersikap tawadhu’ kepada Allah kecuali Allah meninggikan dserajatnya. “

Dari hadits tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa setiap orang yang mempunyai sifat tawadhu’ dia akan semakin dicintai baik oleh Allah SWT. maupun orang - orang yang ada disekelilingnya  dan karena ketawadhuannya itu maka Allah akan mengangkat derajatnya.

Sebaliknya, jika orang itu bersikap sombong, manusia pasti membencinya, dan secara otomatis ia tidak akan dihargai.

Nabi SAW. bersabda,
“ Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena Allah satu derajat saja, pasti Allah mengangkatnya satu derajat, sampai ia mencapai ketinggian derajat yang paling tinggi. Dan barangsiapa yang bersikap sombong kepada Allah satu derajat saja, pasti Allah merendahkannya satu derajatsampai ia mencapai kerendahan derajat serendah – rendahnya. “

Alangkah tingginya derajat orang - orang mukmin yang bersikap tawadhu’ karena mereka akan diselamatkan dan alangkah hinanya martabat orang - orang karena akan dibinasakan.

5.         Jalan menuju ketawadhu’an

a.       Tawadhu’ dalam berpakaian

Satu contoh ketawadhu’an yang paling melekat dalam kehidupan kita, mulailah dalam masalah pakaian. Seorang laki – laki mendatangi Nabi SAW. dan berkata, “ Wahai Rasulullah, saya ingin bajuku bagus juga sandalku bagus. Apakah hal ini termasuk kesombongan? “ Nabi SAW. menjawab, “ Tidak, karena sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. “

Sebagian orang beranggapan bahwa tawadhu’ dalam berpakaian berarti ia memakai pakaian yang usang. Jangan terpengaruh dengan anggapan orang bahwa orang beragama itu tidak mempunyai selera dalam berpakaian dan tidak mengikuti mode. Ia akan tetap berpakaian dengan baik, rapi, dan bersih. Itu yang harus dilakukan. Tetapi jangan takabur! Sebaliknya, katakanlah kepada orang bahwa orang – orang yang taat beragama itu adalah orang yang paling baik, termasuk dalam hal berpakaian.

Nabi SAW. bersabda,
“ Diantara orang yang berjalan berlengak – lengok dalam pakaiannya, kemudian Allah menenggelamkannya ke dalam bumi, dan ia akan berteriak – teriak sampai hari kiamat. “


b.      Tawadhu’ kepada pembantu
Nabi SAW. bersabda :
“ Allah menjadikan saudara – saudaramu di bawah duri tanganmu: maka berilah makan mereka apa yang engkau makan, berilah pakaian dari apa yang engkau pakai, pekerjakanlah mereka sesuai dengan kemampuannya. Jika engkau mempekerjakannya diluar kemampuannya, maka bantulah mereka.”

Nabi SAW. juga bersabda,
“ Jika seorang pembantu datang kepada salah satu dari kalian sambil membawa makanan maka hendaklah ia duduk bersamanya. Jika ia tidak duduk bersamanya maka hendaklah ia memberikan makanan padanya sesuap ataupun dua suapan.”

Fakta berbicara :

Seorang istri mendatangi pembantunya seraya berkata, “ Kita akan membersihkan rumah ini dari pangkal sampai ujung.” Seketika itu, pembantu tersebut membersihkannya sepanjang hari sampai ia mengalami keletihan yang luar biasa. Kemudian ia diserahi pekerjaan lainnya yang ia tidak sanggup lagi mengrjakannya.

Memang ada sebagian tuan rumah yang tidak memberikan toleransi sedikitpun. Ketika pembantunya melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, nyonya tadi mendampratnya dengan segala sumpah serapahnya.

c.       Tawadhu’ dalam membangun rumah

Ali bin Abi Thalib r.a. berkata , “ Fathimah, putri Nabi SAW. melengkapi isi rumahnya untukku. Aku memasuki rumah tersebut bersamanya. Demi Allah, seharian penuh tidak ada yang disuguhkan padaku kecuali kulit domba yang terbentang diatas lantai dan bantal berisikan serabut.”
Sebenarnya rumah Ali r.a, adalah potret rumah ideal dan penuh limpahan rezeki dari Allah SWT. Meski kisah yang diatas itu begitu indah , akantetapi jangan sampai kita terlalu hemat. Ketika ada seseorang yang berkunjung ke rumah berikanlah minuman atau makanan untuk mereka.

d.      Tawadhu’ terhadap para kerabat, terutama yang miskin

Bersikaplah tawadhu’ kepada para kerabat, terutama yang miskin. Pikirkanlah mulai sekarang dan berbuat baiklah serta tanyailah mereka. Kunjungilah juga, dan jangan lupa membangu mereka.

Kita jangan berbuat baik hanya kepada kerabat yang kaya saja. Oleh karena itu jangan pernah malu berkunjung pada orang yang lebih kecil, lebih lemah dari kita, bersikap tawadhu’lah kepada mereka dan jangan merasa karena dari segi finansial derajat kita lebih besar maka kita bersikap sombong terhadap kerabat kita yang membutuhkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang - orang yang sombong.

e.       Tawadhu’ terhadap guru

Bersikaplah tawadhu’ kepada guru kita. Janganlah kita merendahkannya apalagi mencacinya.


f.       Tawadhu’ kepada orang tua

Allah ta’ala berfirman,

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuhkesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". ( Q.S. Al – Isra’ : 24 )


Itu jika keduanya masih hidup. Namun jika keduanya telah meninggal dunia, maka mintakanlah pengampunan untuk keduanya. Kerjakanlah amal shalih sebagai tambahan amal dalam timbangan keduanya, dan berbuat baiklah terhadap teman keduanya.

Pelajaran aplikatif :

Seseorang  mengatakan, “ Saya ingin menerapkan sikap tawadhu’ terhadap kedua orangtua saya, tetapi saya tidak tahu (harus bagaimana).”Wahai saudaraku tercinta, hendaklah anda mencium kedua tangan orangtua anda.

Apakah kita mampu mencium tangan kedua orangtuamu didepan orang banyak, kerabat dan tamu lain? Jika kita ingin belajar bertawadhu’ maka ciumlah tangan kedua orangtua anda selama sebulan. Pasti diri kita akan berubah.ari tawadhu’

Seseorang mengatakan, “ Saya dapat mencium tangan ibu saya, tetapi dengan ayah saya tidak bisa. “Jika begitu, mulailah dengan ayah kita, walaupun kondisinya amat berat. Ketahuilah, sesungguhnya itulah maksud dari tawadhu’.

“ Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. “ ( Q.S. Al – Mudatstsir : 6 )
Janganlah terlalu mengharapkan balasan pada shalatmu , tahajudmu, puasamu, hajimu, ketahuilah Allah berfirman,

“ Allah telah menurunkan kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” ( Q.S. An – Nisa : 113 )

Bersikaplah tawadhu’ terhadap Rabbmu, dan janganlah kita mengharapkan balasan lebih besar dari Allah, karena hal itu dapat menyeret kita ke jurang kehancuran.













'iffah


A.                ‘Iffah

1.      Kalimah ‘Iffah yang disebut dalam Al – Qur’an menunjukkan kepada macam – macamnya seperti dibawah ini :

a.       Memelihara Faraj dari yang haram

Firman Allah SWT. :
“ Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. “ ( Q.S. An - Nur : 33 )

Dalam ayat diatas ada perintah supaya bersungguh - sungguh melatih diri agar bersifat ‘iffah bagi mereka yang belum mampu kawin karena belum dapat memberi nafaqah. Ayat ini datang setelah ada perintah agar seseorang menjaga diri supaya jangan jatuh dalam fitnah dan agar menjauhkan diri dari melakukan maksiat dengan memejamkan mata. Kemudian turunlah perintah agar nikah, yang dengan nikah itu ia dapat terpelihara dari melakukan maksiat. Kemudian turun pula perintah agar menahan nafsu yang mengajak kepada keburukan dan supaya dikendalikan sampai dia mampu untuk nikah.

Yang berhubungan dengan menjaga faraj ialah menjauhi sesuatu yang tidak pantas seperti berpakaian yang melebihi batas dengan menampakkan perhiasan yang memikat hati, oleh karena itu Allah memerintahkan agar melakukan penjagaan dengan firman-Nya : “ Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian[1050] mereka dengan tidak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, dan Berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” ( Q.S. An - Nur : 60 )

Sesungguhnya tidak ada dosa bagi perempuan - perempuan yang lanjut usianya yang tidak ingin kawin lagi, meninggalkan pakaian luar dengan tidak menampakkan sesuatu perhiasannya yang tersembunyi atau tidak dengan maksud bergaya supaya dilihat oleh orang lain.

b.      Kebersihan jiwa dan kejujuran

Firman Allah Ta’ala dalam melarang memakan harta anak - anak yatim ,
“ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” ( Q.S. An - Nisa : 6 )

Apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu uji akal dan kepandaian anak yatim dalam memelihara hartanya sebelum ia baligh, sehingga apabila kamu telah mengetahui kedewasaan pada mereka maka berikanlah harta mereka tanpa mengundurkan dari batas baligh. Dan janganlah kamu memakan harta mereka diluar kepatutan dan tergesa - gesa karena khawatir mereka akan baligh.

Para wali anak yatim itu ada dua macam : Wali yang kaya dan wali yang miskin. Maka bagi yang kaya hendaknya menjaga kesucian dirinya dari harta anak yatim, cukuplah ia memakan rezeki yang dikaruniakan Allah kepadanya dan tetap merasa belas kasihan kepada anak yatim dengan menjaga hartanya. Adapun sebagai ongkos jerih payahnya sekedar menurut yang patut dan untuk memelihara amanah.

c.       Enggan meminta makanan atau uang padahal dalam keadaan sangat membutuhkan

Firman Allah Ta’ala :

“ Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.” ( Q.S. Al - Baqarah : 273 )

Yang dimaksud ialah orang - orang yang menyediakan dirinya untuk jihad sampai mereka tidak berusaha dan  ada yang berkata mereka adalah Ash habus Shuffah. Siapa yang mempunyai kelebihan makan dibawanyalah makanan itu untuk mereka makan di sore hari ini. Orang - orang yang tidak mengerti akan keadaan mereka mengira bahwa mereka adalah orang - orang yang berkecukupan disebabkan mereka selalu menjaga kehormatan diri mereka dari minta - minta, tetapi orang yang melihat mereka dengan teliti akan melihat wajah mereka pucat dan keadaannya sangat menyedihkan dan tidak ada sama sekali diantara mereka yang minta - minta. Jika ada yang terpaksa meminta maka ia meminta dengan jalan yang halus tanpa mendesak.
2.      Hal-hal yang dapat menumbuhkan iffah

Pertama: Iman dan Taqwa
Inilah asas yang paling fundamental di dalam memelihara diri darisegala hal yang tercela.Jiwa yang terpateri oleh iman dan taqwamerupakan modal yang paling utama untuk membentengi diri dari hal-halyang dibenci oleh Allah dan RasulNya. Allah memberikan jaminan kepadaorang-orang yang amal solehnya didasari oleh iman dengan kehidupanyang baik, Barang siapa mengerjakan amal soleh, baik laki-laki maupunperempuan, sedangkan dia orang beriman, maka sesungguhnya kami akanberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beribalasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yangtelah mereka kerjakan [An Nahl: 97]
Lalu terhadap orang beriman yang taqwa Allah mmberikan Al-Furqan, yaitupetunjuk yang dapat membedakan antara Al Haq dengan Al Bathil. Haiorang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Diaakan memberikan kepadamu Al Furqan dan menghapuskan segala kesalahanmudan mengampuni [dosa-dosa]mu. [Al Anfal: 29]
Dan manakala iman dan taqwa dalam jiwa seorang muslim telah rapuh,maka itulah pertanda mudahnya dirinya terjebak dalam kesesatan danperbuatan tercela. Maka memelihara dan memupuk iman ini merupakankewajiban yang harus mendapatkan prioritas utama.
Kedua: Nikah
Inilah salah satu rambu jalan yang jelas menuju kesucian diri. Bahkannikah adalah sarana yang paling baik dan paling afdhol untukmenumbuhkan sikap iffah pada diri seorang muslim. Nikah adalah sesuatuyang fithri pada diri seorang muslim, di mana padanya Allah menjadikanrasa cinta serta kasih sayang dan kedamaian.
Firman Allah ta’ala : “  Dan di antarakekuasaanNya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismusendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa cinta dan kasih sayang.”  [Ar Rum: 21]
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda: Hai para pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah mampu untukmenikah, maka hendaklah ia menikah, karena hal itu lebih [dapat]menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapayang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena itu dapatmengobatinya. [Muttafaq Alaih]
Dalam hadits lain beliau bersabda:Apabila seorang hamba telah menikah, maka ia telah menyempurnakansetengah agamanya, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah padayangsetengah lagi. [HR. Al Baihaqy, shohih]
Ayat dan hadits-hadits tadi merupakan nash-nash yang jelas mendoronguntuk nikah, di mana ketenteraman hati, cinta dan kasih sayang dapatdiraih oleh seorang muslim. Dan yang lebih utama lagi adalah bahwanikah merupakan sarana yang dapat memelihara pandangan dan kehormatandiri seetiap muslim.
Ketiga: Rasa Malu
Malu adalah akhlak indah dan terpuji.Malu adalah sifat yang sempurnadan perhiasan yang anggun.Terlebih indah jika malu ini menghiasiseorang muslimah.Sifat malu selalu tumbuh dalam sikap yang baik danmemadamkan keinginan untuk berbuat tercela.Allah telah mentakdirkansifat malu ini hanya ada pada manusia untuk membedakannya dengan hewan.Malu adalah potret pribadi yang agung dan terpuji. Tentang keutamaanmalu ini Rasulullah Shallalhu Alaihi wa Sallam bersabda:Malu dan iman adalah bersaudara, maka jika salah satu dari keduanyaitu dicabut, tercabut pulalah yang lainnya. [HR. Al Hakim, shohih]
Sesungguhnya setiap agama itu mempunyai akhlak, dan akhlak Islamadalah rasa malu. [HR. Malik, Ibnu Majah, Al Hakim, shohih]


3.      Menjadi wanita yang ‘afifah

Bila seorang muslim dituntut untuk memiliki ‘iffah maka demikian pula seorang muslimah. Hendaknya ia memiliki ‘iffah sehingga ia menjadi seorang wanita yang ‘afifah, karena akhlak yang satu ini merupakan akhlak yang tinggi, mulia dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan akhlak ini merupakan sifat hamba-hamba Allah yang shalih, yang senantiasa menghadirkan keagungan Allah dan takut akan murka dan azab-Nya. Ia juga menjadi sifat bagi orang-orang yang selalu mencari keridhaan dan pahala-Nya.
Berkaitan dengan ‘iffah ini, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh seorang muslimah untuk menjaga kehormatan diri, di antaranya:
Pertama: Menundukkan pandangan mata (ghadhul bashar) dan menjaga kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman : “Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…” (An-Nur: 31)

Asy-Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan kaum mukminin dan mukminat untuk menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka.
Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari perbuatan zina, liwath (homoseksual) dan lesbian, dan juga menjaganya dengan tidak menampakkan dan menyingkapnya di hadapan manusia.” (Adhwa-ul Bayan, 6/186)
Kedua: Tidak bepergian jauh (safar) sendirian tanpa didampingi mahramnya yang akan menjaga dan melindunginya dari gangguan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Tidak boleh seorang wanita safar kecuali didampingi mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)
Ketiga: Tidak berjabat tangan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Karena bersentuhan dengan lawan jenis akan membangkitkan gejolak di dalam jiwa yang akan membuat hati itu condong kepada perbuatan keji dan hina.

                 Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata: “Secara mutlak tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, sama saja apakah wanita itu masih muda ataupun sudah tua.
Dan sama saja apakah lelaki yang berjabat tangan denganya itu masih muda atau kakek tua. Karena berjabat tangan seperti ini akan menimbulkan fitnah bagi kedua pihak. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata tentang teladan kita (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam):
“Tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita, kecuali tangan wanita yang dimilikinya (istri atau budak beliau).” (HR. Al-Bukhari, no. 7214)

                 Tidak ada perbedaan antara jabat tangan yang dilakukan dengan memakai alas/ penghalang (dengan memakai kaos tangan atau kain misalnya) ataupun tanpa penghalang.Karena dalil dalam masalah ini sifatnya umum dan semua ini dalam rangka menutup jalan yang mengantarkan kepada fitnah.”
(Majmu’ Al-Fatawa, 1/185)
Keempat: Tidak khalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahram.
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam titahnya yang agung:“Tidak boleh sama sekali seorang lelaki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila bersama wanita itu ada mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)
Kelima: Menjauh dari hal-hal yang dapat mengundang fitnah seperti mendengarkan musik, nyanyian, menonton film, gambar yang mengumbar aurat dan semisalnya.

                 Seorang muslimah yang cerdas adalah yang bisa memahami akibat yang ditimbulkan dari suatu perkara dan memahami cara-cara yang ditempuh orang-orang bodoh untuk menyesatkan dan meyimpangkannya. Sehingga ia akan menjauhkan diri dari membeli majalah-majalah yang rusak dan tak berfaedah, dan ia tidak akan membuang hartanya untuk merobek kehormatan dirinya dan menghilangkan ‘iffah-nya. Karena kehormatannya adalah sesuatu yang sangat mahal dan ‘iffah-nya adalah sesuatu yang sangat berharga.Memang usaha yang dilakukan untuk sebuah ‘iffah bukanlah usaha yang ringan. Butuh perlu perjuangan jiwa yang sungguh-sungguh dengan meminta tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah Bersabda :“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut: 69)